Jumat, 18 Desember 2015

Resensi Buku Fiqh Negara Dr. Yusuf Qardhawi


Judul Asli:  Min Fiqh ad-Daulah fil Islam

Terjemahan: Fiqih Negara

Penulis : Dr. Yusuf Qardhawy

Penerjemah: Syafril Halim

Penerbit: Robbani Press – Jakarta

Tebal   : 260 Halaman



dakwatuna.com – Islam adalah agama paripurna yang mengurusi seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari yang sederhana hingga hal paling rumit. Mulai dari hal terkecil, hingga hal yang terbesar. Islam tidak hanya mengatur kehidupan individu, tetapi juga dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat hingga bernegara. Semua hal ini, telah dicontohkan dengan sangat baik oleh pribadi Rasulullah saw.

Terkait kehidupan bernegara, meskipun sudah dicontohkan dengan sangat baik oleh Rasulullah dan pendahulu terbaik umat ini, kaum muslimin masih berdebat dan berbeda pendapat tentangnya.


Ada kubu yang menganggap bahwa kaum muslimin hanya boleh terjun ke pemerintahan dalam sistem Khilafah. Ada juga yang memilih untuk bertarung dalam sistem apapun demi kemanangan Islam. Pihak lain, justru mengharamkan hal itu karena bukan sistem Islam. Anehnya, jika kemudian kaum muslimin dirugikan, mereka ikut melakukan protes. Padahal, ketika diberi opsi untuk ikut serta secara aktif dalam memenangkan kekuatan kaum muslimin melalui berbagai jalur pemerintahan, kelompok ini merasa enggan. Bahkan, mengharamkannya.

Sehingga, kajian tentang bernegara ini perlu untuk terus digalakkan. Tentu, dengan merujuk kepada sumber primer yakni al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama’. Karena, pengaturan kehidupan bernegara ini, bukan kreasi gerakan Islam (pendiri dan aktivisnya), tapi merupakan kajian dari teks-teks Islam yang tegas, fakta sejarah yang tidak akan berubah dan karakter dakwah Islam yang komprehensif. (h. 5)

Kajian tentang fiqh Negara ini, setelah membahas tentang asalnya, maka selanjutnya adalah tentang rambu-rambu negara yang dibangun oleh Islam. Negara yang dibangun oleh Islam adalah: negara madani bersumberkan Islam, negara Internasional, negara konstitusional berdasarkan syariat, negara musyawarah bukan kerajaan, negara petunjuk bukan negara pengumpul harta, negara pelindung kaum dhuafa, negara hak asai dan kebebasan, negara prinsip dan moral.(h. 29-58)

Selain rambu-rambu, penting juga untuk dimengerti tentang karakter negara dalam Islam itu sendiri. Pengetahuan tentang karakter ini amatlah penting. Sehingga kita bisa mengetahui tentang mana jalan yang harus ditempuh dan jalan yang harus dihindari.

Bahwa negara Islam bukanlah negara agamawan yang pernah berkuasa di Eropa. Yakni kekuasaan absolut atas nama agama yang kemudian berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat. Hanya demi kepentingan pribadi dan golongan pengusungnya. Hal inilah yang terus dibisikkan oleh musuh-musuh Islam sehingga kaum muslimin merasa anti dan kemudian memusuhi sesamanya yang berjuang dalam jalur pemerintahan.

Selanjutnya, di dalam buku ini juga dibahas tentang berbagai sistem pemerintahan yang ada saat ini. Mulai dari sistem multipartai, pencalonan wanita untuk dewan perwakilan,  hukum berpastisipasi dalam pemerintahan non-Islam, juga tentang bagaimana hukumnya mencalonan non-Muslim untuk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat.

Kajian dalam buku ini, sangat layak untuk dilirik. Jika memang ada yang tak tertarik untuk membahasnya lebih jauh. Syukur-syukur, jika ijtihad penulisnya dalam buku ini, ada yag bisa melengkapi, mengoreksi ataupun membandingkannya dengan ijtihad lain berdasarkan al-Qur’an dan sunnah.

Pasalnya, saat ini, kaum muslimin lebih sibuk untuk membahas perbedaan cara ibadah dan khilaifyah lainnya, dibanding sibuk mengurus negara. Padahal, jika Islam berkuasa, seluruh agama akan dinaungi dalam keadilan dan kesejahteraan. Ini bukan retorika, tapi sudah dibuktikan dalam tinta emas sejarah.

Redaktur: Pirman

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2014/04/07/49177/fiqh-negara/

Sunnah dan Bid'ah menurut Yusuf Qardhawi

PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, kami melantunkan puja-puji, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Shalawat dan salam atasnya, keluarganya, sahabatnya, dan mereka yang melanjutkan dakwahnya, memegang sunnahnya, dan memperjuangkan agamanya, hingga hari kiamat.
Salam hormat yang paling baik, yang aku ucapkan kepada kalian adalah salam Islam, yaitu as-salamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Pembahasan kita pada kesempatan ini adalah seputar permasalahan sunnah dan bid’ah. Hal ini berkaitan dengan sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah majalah yang diterbitkan di negara kita ini.[1] Artikel itu menyandang judul yang amat nyeleneh, yaitu “Istinkaarul-Bid’ah wa Kuraahatul-Jadiid, Mauqifun Islami am jahili?” Artinya, “Mengingkari Bid’ah dan Membenci Hal yang Baru, Apakah Sikap Islami ataukah Sikap Jahiliah?’ Di situ, si penulis artikel ingin menyampaikan pesan bahwa mengingkari bid’ah adalah suatu sikap jahiliah. Menurutnya, kita tidak boleh mengingkari bid’ah dan harus membiarkan manusia menciptakan apa pun yang dikehendaki oleh inspirasi mereka atau oleh setan mereka, baik setan yang berbentuk manusia maupun jin.
Oleh karena itu, kami ingin mengembalikan masalah ini kepada pokok yang sebenarnya dan kita perlu meredefinisikan (mendefiniskan ulang) pemahaman-pemahaman kita tentang masalah ini karena masalah ini sangat penting. Membiarkan suatu pemahaman tanpa pendefinisian yang jelas akan membuat suatu masalah menjadi seperti karet yang dapat ditarik ulur dan kembali pada keadaan semula, serta membuat setiap orang dapat menafsirkannya sekehendak hatinya. Ini tentunya amat berbahaya.
Karena itulah, kita harus mengetahui makna sunnah yang sebenarnya, juga makna bid’ah, dan apa sikap Islam terhadap bid’ah itu? Mengapa Islam mengingkari bid’ah? Dan, apakah mengingkari bid’ah berarti bid’ah hal yang baru, apa pun bentuk hal yang baru itu? Dengan penjelasan seperti itu, diharapkan kita dapat mengetahui sikap yang benar tentang masalah ini dan hakikat kebenaran dapat diketahui dengan baik serta ketidakjelasan dapat disibakkan. Sehingga, orang yang kemudian binasa adalah karena kesengajaannya semata setelah melihat fakta yang sebenarnya, dan orang yang hidup bahagia adalah orang yang memilih jalan kebenaran setelah melihat kebenaran itu.
MAKNA SUNNAH SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS[2]
Sunnah secara etimologis bermakna ‘perilaku atau cara berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah yang baik dan ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: “Barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, dia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari pahala orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu. Sementara, barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk dalam Islam, ia akan mendapatkan dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari perbuatan orang yang melakukan keburukan yang sama setelah nya dengan dosa yang sama sekali tidak lebih kecil dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu.”[3]
Kata “sunnah” yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata sunnah dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat kebiasaan yang baik dan yang membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat kebiasaan yang baik akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatannya, dan orang yang membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Adapun dalam pengertian syariat, kata sunnah mempunyai pengertian tersendiri atau malah lebih dari satu pengertian.
Banyak kata yang mempunyai makna etimologis yang kemudian diberikan makna-makna baru oleh syariat. Seperti kata thaharah; secara etimologis, ia bermakna ‘kebersihan’, sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat, ia bermakna ‘menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, dan sejenisnya‘. Demikian juga halnya dengan kata shalat; secara etimologis ia bermakna ‘doa‘, sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat ia bermakna ‘ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam‘. Demikian juga halnya dengan kata sunnah, ia mempunyai pengertian etimologis dan pengertian terminologis syariat.
Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai lebih dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian terminologis fuqaha adalah ‘salah satu hukum syariat’ atau antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna sesuatu yang dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun dengan perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya dan sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh adalah sunnah, sementara shalat shubuh itu sendiri adalah fardhu.
Menurut para ahli ushul fiqihsunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai sumber syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur’an. Misalnya, ada redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu: masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan sunnah.
Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi–baik fisik maupun akhlak–atau juga sirah (biografi Rasul saw.).
Ada juga makna sunnah yang lain yang menjadi perhatian para ulama syariat, yaitu sunnah dengan pengertian antonim dari bid’ah. Atau, apa yang disunnahkan dan disyariatkan oleh Rasulullah saw. bagi umatnya versus apa yang dibuat-buat oleh para pembuat bid’ah setelah masa Rasulullah saw.. Pengertian sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh hadits riwayat Irbadh bin Sariah, salah satu hadits dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba’in, ed.), “… orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak perbedaan pendapat (di kalangan umat Islam). Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian mengikuti hal-hal bid’ah, karena setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.[4]
Oleh karena itu, di kalangan sahabat sering ditemukan adanya pengoposisian antara sunnah dan bid’ah. Mereka berkata bahwa setiap kali suatu kaum membuat bid’ah maka pada saat itu pula mereka menelantarkan sunnah dalam kuantitas yang sama. Ibnu Mas’ud berkata, “Mencukupkan diri dengan berpegang pada sunnah, lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah.”
Ini adalah pengertian terakhir kata sunnah, dan ini pula pengertian sunnah yang menjadi topik pembicaraan kami dalam kesempatan ini. Sedangkan, pengertian-pengertian sunnah yang lain, tidak menjadi topik pembicaraan kami ini. Kami telah membicarakan sebagian dari sunnah dengan pengertian-pengertian lainnya itu, misalnya kami telah membicarakan sunnah sebagai salah satu sumber syariat, atau tentang sunnah sebagai ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, dan sirah Rasulullah saw.. Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengkaji tentang sunnah dengan pengertian sebagai antonim bid’ah. Atau, apa yang disunnahkan oleh Nabi saw. bagi umatnya.
Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan oleh Umar ibnul Khaththab r.a., “Keduanya (Al-Qur’an dan sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw..” Umar mengutip redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[5]
Nabi saw. telah memperingatkan dengan keras perbuatan bid’ah serta memerintahkan umat Islam Untuk mengikuti Sunnah beliau dan menjaganya. Beliau bersabda, “Aku tinggalkan kalian dalam keutamaan dan kemuliaan (ajaran agama) yang terang-benderang, malamnya seterang siangnya, dan tiada orang yang menyimpang darinya kecuali ia akan binasa.”[6]
MAKNA BID’AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI[7]
Kemudian, apakah makna bid’ah? Dan, apa pengertian bid’ah yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama? Bid’ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi’, adalah “cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT”.[8] Ini merupakan definisi bid’ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid’ah.
MEDAN OPERASIONAL BID’AH ADALAH AGAMA
Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid’ah adalah agama. Ia adalah “tindakan mengada-ada dalam beragama”. Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[9]
Dalam riwayat yang lain, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[10]Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba’in, ed.).
Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain;pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, “Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat.”[11]
Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”
Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:
1. Meniatkan ibadah karena Allah
2. Amal harus sesuai syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid ‘orang yang zuhud’ (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, “… supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…. “(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, “Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar.” Ia kembali ditanya, “Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Ia menjawab, “Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ‘ikhlas’ adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan ‘benar’ adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.”
Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, “Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat. Dan, keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”
Dengan demikian, perbuatan bid’ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid’ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid’ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan “masalah ini (salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid’ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in tidak melakukannya”. Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid’ah dalam agama. Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid’ah: seperti mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid’ah?
Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, “ini adalah bid’ah”. Tidak, bid’ah tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada yang mengusulkan, “Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat melihat baginda?” Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid’ah.
Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid’ah? Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.[12]
Di antara contohnya, Nabi saw.–pada beberapa kesempatan–melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan.[13] Dari sini, ada sebagian ulama–diantaranya Ibnu Hazm–yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, “Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak.”[14]
Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid’ah. Ini adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu’, dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang bid’ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan itu.
Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar-yaitu seorang tokoh yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan kadang-kadang menulis tentang topik keislaman–tentang tuntunan makan dengan tangan kanan. Ia berkata bahwa hal itu bukan sunnah karena ia hanyalah suatu bentuk adat kebiasaan belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu permasalahannya. Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya dengan cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau makan di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang bersifat praktikal, dan setiap orang melakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah kaumnya; selama tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa suatu cara tertentu dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada tuntunan sunnah di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan, tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal itu. Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan hal itu, yaitu saat beliau bersabda kepada seorang anak, “Bacalah nama Allah, Nak, kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan (hidangan) yang dekat dengan kamu.”[15]
Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan sebaliknya, seperti alam sabda beliau, “Hendaklah kalian tidak makan dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya.”[16]
Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu menunjukkan keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri) karena beliau menyerupakan orang yang melakukan tindakan seperti itu dengan setan. Dan, beliau tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan setan dalam masalah yang makruh.
Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah saw. kembali bersabda, “Engkau pasti bisa.”[17]Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.
Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.
Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu? Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang; ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan seterusnya.
Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.
Jika ada seseorang yang berkata, “Aku ingin mencontoh segala perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw..” Kepada orang seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.
Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan.[18] Demikian juga sebagian sahabat yang lain.
Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti itu.[19] Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas, apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak minggir ke pinggir jalan.[20]
Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.[21]
Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah saw. meletakkan unta beliau.
Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.
Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan–atau malah memaksakan–orang lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid’ah.
KREASI DAN PENEMUAN BARU SEHARUSNYA HANYA DALAM URUSAN DUNIAWI
Bid’ah, seperti kami katakan sebelumnya, adalah “tindakan mengada-ada dalam beragama”. Karena, Islam menghendaki para pemeluknya untuk menjalankan agama sesuai batas ketentuan yang telah diberikan dan tidak mengada-ada. Untuk kemudian, mencurahkan energi kreatif mereka untuk membuat kreasi baru dalam bidang-bidang keduniawian. Inilah yang dilakukan oleh generasi salafus saleh.
Kalangan salaf menjalankan agama pada batas ajaran yang jelas telah ada, dalam riwayat yang pasti dari Rasulullah saw. dan pada sunnah-sunnah. Untuk kemudian, mereka mencurahkan segenap potensi dan energi mereka untuk berkreasi dan bekerja untuk memperbaiki kehidupan duniawi.
Dalam biografi Umar Ibnul-Khaththab r.a., Anda akan menemukan banyak hal yang dikenal dengan awwaliyyaat Umar ‘pioniritas Umar’. Yaitu, ia adalah orang yang pertama kali mengadakan sistem administrasi di negara Islam, yang pertama kali membangun kota-kota terpadu, pemimpin yang pertama kali mengadakan investigasi langsung kepada rakyat, dan lain-lain.
Ada kitab yang berjudul al-Awaail ‘Hal-Hal yang Pertama’ atau apa-apa yang pertama kali dibudayakan oleh kalangan salaf. Para sahabat telah menciptakan banyak kreasi untuk menciptakan kemaslahatan bagi kaum muslimin.
Dan, makna ‘mengada-ada’ adalah hal itu tidak mempunyai sumber dalam syariat. Asal kata bid’ah adalah diambil dari kata bad’a dan ibtada’a, yang bermakna ‘menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya’. Oleh karena itu, Al-Qur’an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, “Allah Pencipta langit dan bumi.” Artinya, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dari nol, tanpa adanya contoh sebelumnya.[22]
Membuat bid’ah adalah menciptakan ajaran agama yang tidak ada aturannya dari Rasulullah saw., juga dari Khulafa ar-Rasyidin, yang diperintahkan kepada kita agar mengikuti sunnah mereka.
SESUATU YANG MEMILIKI LANDASAN DALAM SYARIAT TIDAK DINILAI SEBAGAI BID’AH
Sesuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah. Banyak hal yang dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan landasan dalam syariat. Misalnya, penulisan dan pengkompilasian (penggabungan) Al-Qur’an dalam satu mushaf, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar berdasarkan usul Umar r.a..
Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana itu. Ia berkata, “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.?” Namun, Umar terus membujuknya dan memberikan argumentasi betapa pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu Bakar menerima usul itu dan melaksanakannya.[23] Karena, hal itu demi kebaikan dan kepentingan kaum muslimin, meskipun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan dengan menjaga dan memelihara Al-Qur an itu, dan Al-Qur an adalah pokok agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga Al-Qur’an dari kemungkinan tercecer atau mengalami kesimpangsiuran.
Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu diturunkan. Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas mencatat wahyu-wahyu yang diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua itu dilakukan dalam upaya menjaga dan memelihara Al-Qur’an.
Selama masa hidup Nabi saw., beliau tidak mengkompilasikan Al-Qur’an dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-ayat Al-Qur’an terus turun secara beriringan, dan Allah SWT terkadang mengubah sebagian ayat yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika ayat-ayat yang diturunkan itu langsung dikompilasikan ke dalam satu kesatuan, niscaya akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari Allah SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah saw. memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini dalam surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah dalam Al-Qur’an belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-ayatnya, hingga seluruh ayat Al-Qur’an selesai diturunkan.
Surah al-Baqarah misalnya, ia turunkan pada permulaan era Madinah. Namun, ayat-ayat dalam surah itu baru terlengkapi setelah lewat delapan tahun. Dan, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang oleh ulama dikelompokkan sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Seperti pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan adalah firman Allah SWT: “Dan, peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 281)
Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya pengkompilasian Al-Qur an. Namun, saat kelengkapan Al-Qur’an telah diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan dan pengurangan Al-Qur an. Oleh karena itu, mereka segera mencatat ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan dalam berbagai media dan mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan demikian, hal ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid’ah.
Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka’ab. Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia berkata, “Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya semua orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu orang imam niscaya akan lebih baik.” Dan, rencananya Umar akan mengangkat Ubay bin Ka’ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar, “Bid’ah[24] yang paling baik adalah ini. Dan, orang yang saat ini tidur adalah lebih baik dari mereka yang melaksanakan qiyamullail pada saat ini karena mereka (yang masih tidur) akan melaksanakannya pada akhir malam, sedangkan orang lainnya melaksanakannya pada awal malam.”[25]
Kata “bid’ah” yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat “bid’ah yang paling baik adalah ini” adalah kata bid’ah dengan pengertian lughawi ‘etimologis’, bukan dengan pengertian terminologis syariat. Karena, kata bid’ah dalam pengertian etimologis adalah “sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat” yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, “Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian.”[26]
Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika Allah SWT mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan wafatnya Nabi saw.. Dengan begitu, hilang pula faktor yang menghalangi dilaksanakannya shalat tarawih dalam satu kesatuan jamaah shalat.[27]
Yang terpenting, makna “mukhtara’ah (sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat)” itu adalah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh syariat.
Dari sini, ulama salaf kemudian mengkompilasikan ilmu-ilmu syariat, kemudian menciptakan ilmu-ilmu baru untuk mendukung syariat itu. Seperti, ilmu ushul fiqih, ilmu musthalah hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab, dan sebagainya.
MENIRU JALAN SYARIAT
Kembali kepada definisi bid’ah yang diberikan oleh asy-Syathibi. Kalimat “meniru syariat”, artinya hal itu meniru jalan syariat, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada banyak hal yang diciptakan oleh manusia yang tidak mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya saja ia mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu. Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi ia meniru jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para pembuat bid’ah dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu tidak memiliki suatu kemiripan dengan manusia, niscaya orang banyak akan menolaknya. Mereka menganggap hal itu baik karena ada segi kemiripannya dengan jalan syariat.
BID’AH YANG DIMAKSUDKAN ADALAH BERSIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM BERIBADAH
Dalam definisi asy-Syathibi juga terdapat redaksi, “yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu (bid’ah) adalah sebagai cara berlebillan dalam beribadah kepada Allah SWT”. Maksudnya, orang yang membuat suatu praktek bid’ah, biasanya melakukan hal itu dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Karena, mereka merasa tidak cukup dengan praktek ibadah yang telah diajarkan oleh syariat sehingga mereka berusaha untuk menambah suatu praktek baru. Dengan tindakan itu, seakan-akan mereka ingin mengoreksi syariat dan menutupi kekurangannya sehingga akhirnya mereka menciptakan suatu praktek ibadah baru, hasil rekayasa pikiran mereka.
Apakah niat yang baik itu dapat menjustifikasikan tindakan mereka? Tentu saja tidak. Niat seperti itu tidak dapat memberikan justifikasi suatu perbuatan bid’ah. Kami telah katakan sebelumnya bahwa dalam masalah beribadah, kita harus melengkapi dua hal: niat (hanya semata untuk Allah SWT) dan mutaba’ah yaitu ‘beribadah dengan mengikuti cara yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Rasulullah saw.’. Ukuran dan karakteristik ibadah yang benar amat jelas, yaitu harus mengikuti tuntunan Rasulullah saw., “Siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak diatur oleh sunnah kami maka amalnya itu tertolak.” Ini adalah bid’ah dalam agama. Bid’ah dengan pengertian seperti ini adalah dhalaalah ‘sesat’, seperti disinyalir oleh hadits riwayat Irbaadh bin Saariah, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.”
PEMBAGIAN MACAM BID’AH MENURUT ULAMA DAN PENDAPAT YANG PALING TEPAT
Ada ulama yang membagi bid’ah menjadi dua macam, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk’).[28] Ada juga ulama yang membagi bid’ah menjadi lima macam, seperti halnya lima macam hukum syariat, yaitu bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib dilakukan), bid’ah mustahabbah (bid’ah yang dianjurkan untuk dilakukan), bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh dilakukan), bid’ah muharramah (bid’ah yang haram dilakukan), dan bid’ah mubaahah (bid’ah yang boleh dilakukan).[29]
Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka — misalnya — memasukkan masalah pencatatan Al-Qur’an dan pengkompilasiannya dalam satu mushaf, juga masalah pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori bid’ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari bid’ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid’ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid’ah berdasarkan pengertian lughawi ‘etimologis’, sedangkan pengertian kata bid’ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar’i. Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al-Qur’an dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalam kategori bid’ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid’ah.
Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid’ah yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,” dengan pengertian yang general (umum). Jika dalam hadits itu diungkapkan, “Karena setiap bid’ah adalah sesat,” maka tidak tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid’ah ada yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid’ah wajib dan ada bid’ah yang dianjurkan, dan sebagainya. Kita tidak patut melakukan pembagian bid’ah seperti ini. Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, “Karena setiap bid’ah adalah sesat.” Dan, kata bid’ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid’ah dengan definisi yang diucapkan oleh Imam asy-Syathibi, “Bid’ah adalah suatu cara beragama yang dibuat-buat,” yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al-Qur’an, sunnah Nabi saw., ijma’, qiyas, maupun maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.
MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID’AH?
Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid’ah, menilainya sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka, serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini? Berikut ini adalah alasan-alasannya.
1. PEMBUAT DAN PELAKU BID’AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT
Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid’ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid’ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, “Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu.” Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…. “(asy-Syuura: 21)
Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid’ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur’an dalam firman Allah SWT, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Al-Qur’an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, “(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu.” Rasulullah saw. menjawab, “Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu.”[30]

Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah ‘ketuhanan’-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
2. PEMBUAT BID’AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA
Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid’ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, “,…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…,” (al-Maa’idah: 3)
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.’ Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu.”[31]

Membuat bid’ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (al-Maa’idah: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid’ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.
3. PRAKTEK BID’AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA
Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah ‘agama yang orisinal dan mudah dijalankan’, hanif ‘orisinal’ dalam akidah, dan samhah ‘mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah’. Firman Allah: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat lainnya, “,…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,…” (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, “Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. “[32]

Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka”. (al-A’raaf:157)
Dan, dalam doa-doa Al-Qur’an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, “…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,…” (al-Baqarah: 286)
Para pembuat bid’ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif ‘beban hukum’ yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (al-Ahzab: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, “Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu.Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan “wirid al-Bakri”, yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, “Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad ‘terbatas’”. Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, “Apa makna mutlak dan muqayyad?” niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur’an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur’an misalnya adalah, “…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. “[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, “Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?” Ia menjawab, “Karena aku tidak bisa berwudhu.” Aku kembali bertanya, “Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?” Ia menjawab, “Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do’a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu.” Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, “Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya.” Saat istinsyaaq ‘memasukkan air ke hidung’, “Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku.” Saat membasuh muka, “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam.” Saat membasuh dua tangan, “Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku.” Dan, saat mengusap kepala, “Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”[35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar’i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya ‘alash-shalaaaaaah, hayya ‘alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih darilima menit.
Oleh mereka, kata “falah” harus dibaca lebih panjang dari kata “shalaah”. Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi[36] yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal ini dimaksudkan agar Allah SWT mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi saw. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid’ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.
4. BID’AH DALAM AGAMA MEMATIKAN SUNNAH
Ada ungkapan yang diriwayatkan dari kalangan salaf, secara mauquf dan marfu’, “Setiap kali suatu kaum menghidupkan bid’ah maka saat itu pula mereka mematikan sunnah dengan kadar yang setara.” Ini adalah suatu keniscayaan (kepastian), sesuai dengan hukum alam dan hukum sosial. Ada orang yang berkata, “Setiap kali aku melihat suatu sikap berlebihan dalam satu segi maka saat itu pula aku dapati adanya suatu hak yang ditelantarkan.” Jika Anda menjumpai suatu sikap berlebih-lebihan pada satu segi, Anda pasti akan mendapati adanya sikap mengurang-ngurangi pada segi lain. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid’ah, niscaya energinya untuk menjalankan sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Oleh karena itu, Anda dapat menandai dengan mudah pada segi apa seorang pelaku bid’ah giat berusaha dan pada segi apa pula ia malas bekerja. Ia giat dan bersegera dalam menjalankan perbuatan-perbuatan bid’ah, sementara lemah dan bermalasan dalam menjalankan hal-hal yang sunnah.
Saya masih ingat ketika masih berstatus pelajar sekolah menengah al-Azhar di Madrasah al-Azhar cabang Thantha. Di kota Thantha itu terdapat makam sayyid Ahmad Badawi yang terkenal itu. Di antara syekh kami ada yang menghabiskan sebagian besar siang dan malamnya di samping makam sayyid Badawi. Saya pernah berdialog dengan salah seorang syekh kami tersebut, seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, namun ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang menyakralkan tasawuf dan para wali.
Saat itu, ia sedang mengajarkan kepada kami bab al-Udhhiah ‘kurban’ (dan saya saat itu adalah orang yang senang mengaitkan fiqih dengan kehidupan sehari-hari). Saya berkata kepadanya, “Pak guru, saat ini, masyarakat sudah melupakan sunnah ini sehingga orang yang berkurban amat sedikit sekali. Saya pikir para syekh bertanggung jawab dalam masalah ini dan mereka dapat memperingatkan masyarakat untuk memperhatikan sunnah ini.” Syekh kami itu menukas, “Hal itu terjadi karena kemampuan finansial masyarakat saat ini lemah.” Saya kembali berkomentar, “Namun, dalam kesempatan lain, mereka malah berkurban untuk sesuatu yang bukan sunnah.” Mendengar itu ia bertanya, “Apa yang engkau maksud?” Saya menjawab, “Maksud saya, mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi. Saat peringatan itu, masyarakat menyembelih puluhan, bahkan ratusan atau ribuan domba, sementara pada Idul Adha amat sedikit yang berkurban. Seandainya para syekh mengarahkan masyarakat untuk menghidupkan sunnah berkurban ini, yaitu sebagai ganti mereka berkurban pada saat peringatan kelahiran sayyid Badawi maka mereka berkurban pada hari Idul Adha, niscaya dengan itu mereka telah menjalankan Sunnah. Sekalipun mereka tidak menyedekahkan sedikit pun dari kurban mereka, namun semata mengalirkan darah kurban pada hari itu sudah menjadi bentuk penghidupan syiar Islam. “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)
Setelah saya berkata seperti itu, guru saya langsung marah kepada saya dan mengeluarkan saya dari ruang kelas. Ia kemudian menganggap saya sebagai pembuat onar yang membenci para wali serta kaum shalihin.
Ini mengingatkan saya pada satu pernyataan bahwa setiap kali suatu kaum menghidupkan bid’ah dan menyibukkan diri mereka dengan bid’ah itu, niscaya saat itu pula mereka mematikan sunnah sejenis. Inilah salah satu rahasia mengapa bid’ah diperangi dalam Islam.
5. BID’AH DALAM AGAMA MEMBUAT MANUSIA TIDAK KREATIF DALAM URUSAN-URUSAN KEDUNIAAN
Dari segi lain, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika manusia mencurahkan energi dan perhatiannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah yang ditambahkan ke dalam agama, niscaya mereka tidak lagi mempunyai energi untuk berusaha di dunia dan berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Bid’ah, seperti telah kami sinyalir sebelumnya, adalah “jalan beragama yang dibuat-buat”. Pada dasarnya, manusia harus mengembangkan kreativitasnya dalam bidang keduniaan, namun karena manusia telah mencurahkan seluruh kreativitasnya dalam urusan-urusan agama maka ia tidak lagi dapat berkreasi dalam urusan-urusan duniawi.
Oleh karena itu, generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan memelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, mereka dapat membangun peradaban yang besar dan tangguh yang menyatukan antara ilmu pengetahuan dan keimanan, antara agama dan dunia. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada masa itu, seperti ilmu alam, matematika, kedokteran, astronomi, dan sebagainya menjadi ilmu-ilmu yang dipelajari di seluruh dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin.
Mayoritas motif yang melatarbelakangi kaum muslimin generasi pertama untuk menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Apakah Anda mengetahui mengapa al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar? Ia menelurkan ilmu itu untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Tentang warisan, juga wasiat, sebagian darinya memerlukan hitung-hitungan matematika. Oleh karena itu, al-Khawarizmi menulis bukunya yang berbicara tentang ilmu aljabar dalam dua juz; juz pertama tentang wasiat dan warisan, juz kedua tentang aljabar.
Saat Dr. Musa Ahmad dan kelompoknya mentahqiq kitab al-Khawarizmi itu, mereka memberikan anotasi-anotasi pada juz yang berbicara tentang aljabar, sedangkan pada juz yang berbicara tentang wasiat dan warisan, mereka berkata, Kami tidak memahaminya dan kami tidak mengerti sedikit pun apa yang tertulis di dalamnya.” Pada masa generasi pertama Islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan agama. Tidak ada dikotomi (pembagian / pencabangan) diantara keduanya.[37]
Para ilmuan dan dokter saat itu juga berstatus ulama dalam bidang agama. Ibnu Rusyd, pengarang kitab al-Kulliyyat dalam bidang kedokteran, adalah juga seorang qadhi, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul-Muqtashid dalam bidang fiqih. Kitab itu merupakan kitab fiqih komparatif yang paling baik.
Yang aku ingin tekankan adalah, kaum muslimin pada masa keemasan Islam, dalam bidang agama, mereka semata berpegang pada nash dan Sunnah, sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan, mereka berkreasi, menciptakan hal-hal baru, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penemuan yang telah ada. Sementara, pada masa kemunduran Islam, yang terjadi adalah sebaliknya. Orang banyak sekali menciptakan hal-hal baru dalam bidang agama, sementara beku dan statis dalam bidang-bidang keduniaan. Mereka (kaum muslimin era kemunduran Islam) berkata, “Generasi pertama Islam sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk menciptakan hal-hal baru dan kita sama sekali tidak dapat melakukan seperti apa yang mereka telah perbuat.” sehingga, kehidupan umat Islam menjadi beku dan statis, seperti air yang terjebak tak bergerak dan berubah menjadi busuk. Dengan demikian, pengingkaran perbuatan bid’ah dalam bidang agama bermakna menyiapkan energi manusia untuk berkreasi dan mengembangkan urusan-urusan keduniaan.
6. BID’AH DALAM AGAMA MEMECAH BELAH DAN MENGHANCURKAN PERSATUAN UMAT
Yang keenam adalah berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga membuat mereka menjadi satu barisan yang kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi saw.. Karena, Sunnah hanya satu, sedangkan bid’ah tidak terbilang banyaknya. Kebenaran hanya satu, sedangkan kebatilan beragam warna dan bentuknya. Jalan Allah SWT hanya satu, sedangkan jalan-jalan setan amat banyak. Dalam hadits riwayat Ibnu Mas’ud r.a.,[38] ia berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw. membuat garis lurus di hadapan kami,[39] kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Setelah itu, beliau menggaris beberapa garis di samping kiri dan samping kanan garis yang pertama tadi, dan bersabda, ‘Jalan-jalan ini (adalah selain jalan Allah), masing-masing didukung oleh setan yang menggoda manusia untuk mengikuti jalan itu.’ selanjutnya, beliau membaca ayat, “Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia….” (al-An’aam:153)
Oleh karena itu, saat umat secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. Sementara, saat timbul beragam sekte dan mazhab maka umat terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Bahkan, masing-masing golongan itu pada gilirannya kembali terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan, masing-masing golongan dan kelompok itu meyakini bahwa mereka sajalah penganut agama Islam yang sebenarnya. Selanjutnya, masing-masing golongan itu menciptakan bid’ah tersendiri yang demikian banyak.
Sebagian bid’ah itu dalam bidang akidah hingga kadang-kadang ada yang sampai kepada kekafiran, seperti golongan yang mengingkari ilmu Allah SWT dan berkata, “Hal ini adalah sesuatu yang baru sama sekali.” Maksud ucapan mereka itu adalah Allah SWT tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka itulah yang dikecam dengan keras oleh Ibnu Umar dan ia pemah berkata tentang mereka, “Sekalipun mereka melakukan amal kebaikan sebesar Gunung Uhud, (namun karena perkataan dan sikap mereka tadi) niscaya Allah SWT tidak menerima amal perbuatan mereka itu.
Juga ada kelompok yang menganut antropomorfisme yang menyerupakan wujud Allah SWT dengan makhluk-Nya, mereka terkenal sebagai kelompok Musyabbihah dan Mujassimah. Di antara mereka ada yang mengingkari kodrat Allah SWT, meskipun mereka tidak mengingkari ilmu-Nya. Di antara mereka ada yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka, seperti kalangan Khawarij, meskipun ketekunan ibadah mereka amat mengagumkan dan meskipun dalam hadits Nabi saw. pernah diungkapkan tentang mereka, “Dan kalian ada yang melihat shalatnya lebih sederhana dari shalat mereka, qiyamullailnya lebih sederhana dari qiyamullail mereka, dan bacaannya lebih sederhana dari bacaan mereka.”
Setelah itu, timbul kalangan tasawuf yang sebagian mereka mengungkapkan hal-hal yang sama sekali tidak dilandasi syariat, seperti berpedoman hanya kepada dzauq ‘rasa’ dan intuisi, bukan kepada syariat. Menurut mereka, orang tidak perlu berpegang pada apa yang difirmankan oleh Rabbnya, namun yang terpenting adalah berpedoman pada apa yang dikatakan oleh hatinya. Salah seorang dari mereka dengan bangga berkata, “Hatiku berkata kepadaku berdasarkan informasi dari Tuhanku.” Karena, ia mengambil informasi langsung dari “atas”. Oleh karena itu, saat dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Marilah kita membaca kitab Mushannaf Abdurrazzaq,” ia menjawab, “Apa manfaatnya karya Abdurrazzaq itu bagi orang yang mengambil ilmunya langsung dari sang Khaliq?” Maksudnya, ia mengambil ilmunya langsung dari Allah SWT, tanpa melalui perantara!
Dari mereka ada yang berkata, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orang yang telah mati yang mendapatkannya dari orang yang telah mati pula, sementara kami mengambil ilmu kami dari Zat Yang Maha Hidup, Yang tidak mati!” Malik dari Nafi dari Ibnu Umar, mereka semua telah mati; mata rantai riwayat emas ini (seperti dinamakan oleh para ahli hadits) bagi kalangan tasawuf dipandang sebagi mata rantai karatan yang tidak bermanfaat sama sekali.
Diantara istilah yang dikembangkan oleh mereka adalah hakikat dan syariat. Kalangan ahli syariat melihat dan memperhatikan sisi yang zahir, sedangkan kalangan ahli hakikat melihat dan memperhatikan sisi batin. Oleh karena itu, mereka berkata, “Orang yang melihat manusia dengan mata syariat, niscaya ia akan membenci mereka, sedangkan orang yang melihat manusia dengan mata hakikat, niscaya ia akan memberikan uzur (sikap memaklumi) kepada mereka.”
Orang yang berzina, bermabuk-mabukan, pembuat kezaliman, dan kediktatoran, yang menyiksa manusia dan membunuh ratusan, bahkan ribuan orang, serta yang menghancurkan kampung-kampung dan kota-kota; mereka itu, jika Anda lihat mereka dengan mata syariat niscaya Anda akan membenci mereka karena syariat membenci kemungkaran, kezaliman, dan para pelakunya. Namun, jika Anda memandang mereka dengan mata hakikat, niscaya Anda akan memberikan uzur kepada mereka. Karena, meskipun mereka tidak menjalankan perintah Allah SWT, namun pada hakikatnya mereka menjalankan iradah ‘kehendak’ Allah SWT karena Allah SWT-lah yang menghendaki semua hal itu. Allah SWT menggerakkan manusia sesuai dengan kehendak-Nya, lantas apakah Anda ingin turut campur dalam kekuasaan Allah SWT? Biarkanlah kekuasaan berjalan di tangan raja, sementara manusia yang lain, biarkanlah mereka hidup sesuai dengan kehendak sang Khalik. Dengan begitu, tumbuh suburlah sikap pasif dalam menghadapi kerusakan dan penindasan, demikian juga dalam dunia pendidikan. Hingga dalam bidang yang terakhir ini, tasawuf mencabut kepribadian manusia, yaitu seperti postulat tasawuf “sikap seorang murid di hadapan syekhnya adalah seperti sikap mayat di tangan orang yang memandikannya”, Siapa yang bertanya kepada syekhnya: “Mengapa?” Maka, sang murid itu tidak akan ‘sampai’ ke tujuannya, dan seterusnya.
Kemudian berapa banyak tarekat yang telah timbul di kolong langit ini? Jika umat Islam kita biarkan mengikuti dan menjalankan praktek bid’ah, niscaya mereka tidak akan bersatu dalam satu shaf. Umat Islam hanya dapat bersatu jika mereka berdiri di belakang Rasulullah saw. dan mengikuti kitab Allah yang muhkam dan Sunnah Rasul-Nya. Setelah mereka bersikap seperti itu, tidak menjadi masalah jika mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’ (cabang). Perbedaan pendapat dalam bidang furu’ ini tidak merusak ukhuwah, juga tidak menghalangi persatuan Islam. Para sahabat sendiri banyak berbeda pendapat dalam masalah furu’[40], namun mereka tetap bersaudara, dan tetap sebagai kaum muslimin.
MENGINGKARI BID’AH DAN MEMERANGINYA ADALAH LANGKAH UNTUK MEMELIHARA KEMURNIAN ISLAM
Karena semua hal tadi maka mengingkari bid’ah dan perbuatan bid’ah adalah tindakan yang dapat menjaga kemurnian Islam hingga saat ini sehingga Islam tidak mengalami distorsi dan adisi seperti yang dialami oleh agama-agama yang lain.
Benar di kalangan kaum muslimin terjadi banyak perbuatan bid’ah dan pihak-pihak yang menciptakan bid’ah, yaitu orang-orang jahil yang tidak mempunyai ilmu agama dan memberikan pengajaran agama dengan tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan, namun di sepanjang masa selalu timbul tokoh di kalangan umat Islam yang memperbarui agama mereka.[41] Selalu ada tokoh-tokoh yang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah.[42] Sehingga, setidaknya, Sunnah Rasulullah saw. tetap dapat diketahui dengan jelas dan umat ini tidak sampai bersepakat dalam kesesatan;[43] atau mengakui bid’ah, atau perbuatan bid’ah itu berubah menjadi bagian agama Islam.
Pengingkaran bid’ah itulah yang menjaga rukun-rukun pokok Islam. Bilangan kewajiban shalat tetap terjaga sebanyak lima waktu hingga saat ini, berikut ketentuan waktu dan aturan pelaksanaannya. Pelaksanaan ibadah puasa tidak dipindahkan dari bulan Ramadhan, tidak seperti yang dilakukan oleh Ahli Kitab yang memindahkan waktu pelaksanaan puasa mereka. Dan, waktunya pun tetap dari fajar hingga tenggelamnya matahari. Tata laksana ibadah haji juga tetap seperti itu. Demikian juga aturan zakat tetap seperti sediakala. Pokok-pokok utama Islam tetap terjaga keautentikannya, meskipun telah terjadi banyak bid’ah dan beragam penyimpangan pemikiran di sepanjang masa.
Yang menjaga semua hal tadi adalah prinsip ini, yaitu bid’ah merupakan perbuatan yang tertolak dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Islam adalah agama yang agung dan logis, sesuai dengan alur postulat logika yang benar. Lantas, setelah agama ini melewati masa empat belas abad, jika kita menemukan seseorang menulis sebuah artikel dan berkata, “Mengingkari bid’ah dan membenci sesuatu yang baru, apakah sikap islami atau sikap jahiliah?” Apa yang kita akan katakan kepada orang itu?
Perhatikanlah taktik pengelabuan dalam penulisan judul artikel itu. Di situ, kata “pengingkaran bid’ah” disejajarkan dan disandingkan dengan “membenci hal-hal baru”, Subhanallah! Padahal, siapa yang pernah berkata bahwa mengingkari bid’ah berarti membenci segala hal yang baru? Kaum muslimin, baik itu kalangan pengikut Sunnah maupun pembuat bid’ah, semuanya mempergunakan hal-hal baru. Bahkan, orang-orang yang amat mengikuti Sunnah, mereka mengendarai mobil, mempergunakan telepon, berbicara dengan mikropon, menaiki pesawat, dan sebagainya. Namun, tidak ada yang mengatakan bahwa menaiki pesawat dan sebagainya itu adalah bid’ah dan kita harus mengendarai unta, seperti yang dilakukan oleh Nabi saw..
Lantas, apa makna redaksi “mengingkari bid’ah dan membenci hal-hal baru, apakah sikap islami atau jahiliah?” Itu adalah sebuah taktik pengelabuan yang vulgar, yang menjadi tertawaan orang. Orang yang menulis artikel itu secara implisit berkata bahwa Islam itu sendiri adalah suatu bid’ah terhadap kejahiliahan. Maka, jika kita mengikuti alur logika ini — atau pengingkaran terhadap bid’ah — maka kita juga harus mengingkari Islam, sebagaimana orang-orang jahiliah mengingkari Islam. Karena, bagi orang-orang jahiliah itu, Islam adalah sesuatu yang baru.
Subhanallah! Kejahiliahan itu sendiri sebenarnya suatu bid’ah, yaitu bid’ah yang diperbuat oleh orang-orang jahiliah terhadap agama. Mereka menyelewengkan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan itu. Karena, agama Nabi Ibrahim a.s. pada dasarnya adalah agama yang hanif, “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif) lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali Imran: 67)
Namun, orang-orang jahiliah kemudian menambahkan bid’ah-bid’ah baru dalam agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s.. Tentu saja bid’ah yang mereka ciptakan itu ditujukan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah. Saat mereka menyembah berhala, apa tujuan mereka menyembah berhala-berhala itu? Mereka berkata, “..Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”(az-Zumar: 3)
Orang-orang jahiliah yang menambahkan praktek-praktek baru dalam pelaksanaan ibadah haji (diantaranya berthawaf dengan bertelanjang tanpa pakaian sehelaipun), maka mengapa mereka melakukan hal itu? “Kami tidak boleh berthawaf dengan memakai pakaian kami karena kami telah melakukan maksiat kepada Allah SWT saat mengenakan pakaian itu.” Oleh karena itu, merekapun kemudian berthawaf dengan bertelanjang bulat.
Keburukan dan kebobrokan jahiliah, pada dasarnya diciptakan oleh praktek perbuatan bid’ah dalam agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui kitab-kitab suci-Nya dan para rasul-Nya yang memberikan berita gembira dan ancaman. Kemudian, Islam pada hakikatnya adalah suatu gerakan kembali ke asal, yaitu ke agama fitrah yang difitrahkan oleh Allah SWT bagi seluruh manusia. Ia adalah agama yang diserukan oleh Ibrahim a.s., “Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (an-Nisaa’:125)
Sebenarnya, seluruh redaksi yang ditulis oleh penulis artikel itu hanyalah berisi kesalahan-kesalahan semata. Namun demikian, saya ingin membicarakan masalah ini hingga tuntas sehingga kita dapat menangkap pemahaman yang jelas dan benar tentang sunnah dan bid’ah.
BEBERAPA PENYIMPANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PENULIS ARTIKEL
Pada bagian ini, saya akan mengungkapkan sebagian substansi yang ditulis oleh penulis artikel itu yang diterbitkan oleh majalah “ad-Doha”.
Dalam artikel itu, ia menolak banyak hadits Nabi saw. hingga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun. Misalnya, ia menolak hadits, “Jauhilah perkara perkara bid’ah karena seluruh perbuatan bid’ah adalah sesat.” Juga hadits, “Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yangsama itu, atau kalian mengikuti tindakan mereka itu.”
Ia (penulis artikel itu) mengklaim bahwa hadits-hadits tadi bertentangan dengan Al-Qur’an. Mengapa ia berkata demikian? Dan, bagaimana mungkin hadits-hadits seperti itu bertentangan dengan Al-Qur an?
Ibnu Taimiyah telah mengarang kitab tentang masalah ini yang ia beri judul Iqtidha Shiraath al-Mitstaqiim Mukhalafatu Ahlil-Jahiim ‘Meniti Jalan Lurus Adalah Meninggalkan Praktek Orang-Orang Penghuni Neraka’. Jalan lurus itu adalah shiraathal-mustaqiim yang kita selalu pinta kepada Allah SWT agar kita ditunjukkan kepada jalan itu, minimal sebanyak tujuh belas kali sehari, Yaitu dengan membaca surah al-Faatihah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus,” (al-Faatihah: 6)
Ini mengharuskan kita untuk menentang dan meninggalkan praktek orang-orang penghuni neraka yang disebut dalam firman Allah SWT, “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Faatihah: 7)
Para penghuni neraka adalah orang-orang yang dimurkai Allah SWT dan orang-orang yang sesat. Kita mempunyai jalan tersendiri dan mereka mempunyai jalan-jalan lain. Dalam salah satu hadits disinyalir, “Kalangan yang dimurkai Allah itu adalah umat Yahudi dan kalangan yang sesat itu adalah umat Nasrani.”
Jalan kita berbeda dengan jalan-jalan mereka. Al-Qur’an telah menetapkan bagi kita jalan yang berbeda dengan jalan-jalan mereka itu. Al-Qur’an telah melarang kita dalam banyak ayatnya, menjadi seperti mereka atau melakukan pola hidup dan perilaku seperti mereka. Allah SWT berfirman, “Dan, janganlah kamu menyerupaiorang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…. “(Ali Imran: 105)
Masih banyak lagi ayat lain, demikian juga hadits-hadits Nabi saw. yang berbicara tentang hal itu, yang keseluruhannya memberikan pernyataan dengan yakin bahwa umat ini mempunyai karakteristik yang istimewa dan khas dan ia tidak boleh mengekor kepada umat-umat lain. Dari kenyataan itu, dalam banyak hadits disabdakan pernyataan khalifuuhum ‘bersikap dan berlakulah yang berbeda dengan mereka’. Dan, sabda itu diulang berkali-kali dalam banyak kesempatan.
Independensi kepribadian dan keistimewaan umat Islam tumbuh dari ini, baik dalam penampilan (mazhhar) maupun dalam ilmu pengetahuan (makhbar). Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengikuti pola kehidupan dan pola perilaku mereka yang menyebabkan kita sama seperti mereka.
Kita harus memiliki kepribadian sendiri karena umat Islam adaiah umat wasath ‘pertengahan’ yang menjadi saksi bagi seluruh umat manusia. Kita menempati kedudukan sebagai “profesor agung” bagi seluruh umat manusia. Kita adalah umat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Lantas, mengapa kita harus mengikuti umat lain?
Rasulullah saw. ingin menanamkan kesadaran akan kemuliaan, keistimewaan, dan independensi kepribadian ini dalam diri kita, dan beliau tidak menginginkan kita menjadi pengekor dan pengikut umat lain. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyabdakan hadits berikut ini yang meskipun disampaikan dalam bentuk berita, namun ia secara implisit mengandung makna peringatan, “Kalian akan mengikuti perilaku umat-umat sebelum kalian satu jengkal demi satu jengkal dan satu hasta demi satu hasta, hingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kalian akan memasuki lubang yang sama itu.”
Yang dimaksud dengan lubang biawak dalam hadits itu adalah yang kita kenal sekarang ini dengan nama “trend dan mode”. Atau, bisa kita namakan dengan “mode lubang biawak”. Jika mereka (non muslim, terutama Barat) memanjangkan kuncir mereka, para pemuda kita pun memanjangkan kuncir mereka. Jika mereka menjadi ‘yuppies’ dan ‘hippies’, pemuda kita pun turut menjadi yuppies dan hippies. Ke mana larinya kepribadian istimewa kita yang independen itu? Apakah ada orang yang rela meninggalkan agama dan kepribadian Islamnya untuk kemudian mengikuti kesesatan umat lain?
Kemudian, mengapa ada orang yang mensinyalir bahwa hadits ini bertentangan dengan Al-Qur’an?
Saat Rasulullah saw. ditanya, “siapakah yang dimaksud dengan ‘mereka’ itu? Apakah orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Bukankah amat disayangkan jika saat ini “guru” kita adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani? Kita dengan sukarela menjalankan poin-poin yang ditulis dalam “Protokol-Protokol Pemimpin Zionis”, baik protokol-protokol itu benar milik mereka maupun bukan. Apa yang mereka kehendaki, secara sadar atau tidak, kita telah jalankan dengan tekun sehingga kita menjadi permainan mereka.
Penulis artikel itu mencela dan mengingkari kaum muslimin yang ingin kembali mengikuti jalan Nabi saw., para sahabat, dan cara kehidupan mereka. Aneh sekali sikap sang penulis artikel itu. Apakah keinginan untuk mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam pola kehidupan mereka patut dicela dan diingkari? Kita mengikuti manhaj Nabi saw. dan para sahabat beliau dalam memahami dan menjalankan agama dengan baik; menjaga pokok-pokok agama itu, memperhatikan substansinya, dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan serta melakukan pengembangan dalam kehidupan. Inilah yang kita maksud dengan mengikuti Nabi saw. dan para sahabat beliau itu.
Kemudian, penulis artikel itu berkata, “Aku menemukan di antara sekian hadits, ada hadits yang mensinyalir bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Aku memahami dari hadits itu bahwa orang yang mewarisi peninggalan mempunyai kewajiban moral yang mengharuskan dirinya untuk memelihara warisan itu dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para pewaris nabi-nabi mempunyai kewajiban untuk memelihara warisan ruhani yang ditinggalkan oleh para nabi dan mereka juga berkewajiban untuk mengembangkan warisan yang mereka terima itu. Seperti halnya seseorang yang mewarisi toko, ia berhak bahkan berkewajiban untuk mengembangkan toko itu dan menambahkan barang-barang dagangannya, mengganti barang dagangannya yang sudah kadaluwarsa atau yang sudah tidak laku lagi, sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumen. Demikian juga halnya yang harus dilakukan oleh para pewaris nabi terhadap warisan yang mereka terima itu.”
Artinya, menurut penulis artikel itu, para ulama harus menambahkan ajaran agama, mengembangkan, meluaskan, dan menyisipkan hal-hal baru. Demi Allah, apakah hal ini dapat diterima akal? Apakah ucapan tadi logis dan dapat diterima? Yaitu, menganalogikan ajaran-ajaran agama dengan barang-barang dagangan yang diperjualbelikan di toko!!!
Selanjutnya ia berkata, “Meskipun mayoritas ulama tidak menyetujui pengembangan dan penambahan hal baru ke dalam agama, mereka hanya menjalankan taklid buta dan sikap ‘stagnan’ yang batil. Dan, mereka menjustifikasikan ditutupnya pintu ijtihad dengan kemuliaan dan kejayaan Islam pada era pertamanya.”

Resensi Buku Fiqh Negara Dr. Yusuf Qardhawi

Judul Asli:  Min Fiqh ad-Daulah fil Islam Terjemahan: Fiqih Negara Penulis : Dr. Yusuf Qardhawy Penerjemah: Syafril Halim Penerbit...